Standar
Kontrak dalam Hukum Perjanjian
DOSEN : YUNNI YUNIAWATY
Bekasi, april 2013
Nursella S
Standar
Kontrak dalam Hukum Perjanjian
perjanjian
baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard
contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan
dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan
secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat
terhadap ekonomi lemah.
Kontrak
baku menurut
a.Munir
Fuadi adalah :
Suatu
kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam
kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak
(boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu
pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani
umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu
saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya
dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak
tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
b.
menurut Pareto,
suatu
transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang
menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih
buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau
aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu
keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi
lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
c.Menurut
Treitel, “freedom of contract”
digunakan
untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum
yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi
syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya
karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi
satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi
kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang
ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang
menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian.
Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin
membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat
dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat
yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya
paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh
pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk
setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak
mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat
transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang
terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat
ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Di
Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang
merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut
hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan
kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan
terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari
berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia, yaitu :
1.
Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi
ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang
usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan
peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT
(Principles of International Comercial Contract).
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para
pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena
prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan
pihak yang lemah.
Pasal
2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat
baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak
dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22. Syarat-syarat baku
merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk
digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan
secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu
persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat
secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku
kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan
apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan
bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan
standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir
dinyatakan berlaku.
5.
Pasal 2.22
Jika
kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan
mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu,
suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang
telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki
kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk
memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak
dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan
telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan
bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang
diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah
pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku
dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang
berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak
baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-Macam
Perjanjian
Macam-macam
perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Berdasarkan Subjeknya
·
Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara
yang merupakan subjek hukum internasional.
·Perjanjian
internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
·Perjanjian
antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu
organisasi internasional organisasi internasional lainnya.
Contoh
:
·Perjanjian
antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi
Kerjasama ASEAN dan MEE.
Berdasarkan
Pihak-pihak yang Terlibat.
·
Perjanjian bilateral, adalah
perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty
contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan
kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup
kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
·
Perjanjian Multilateral,
adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak
hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian,
tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan
bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk
turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering
disebut law making treaties.
Contoh
:
·
Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang
pemberantasan dan penyelundupan dan bajak laut, perjanjian Indonesia
dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan, perjanjian
ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada
tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali.
·
Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial,
Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi Esklusif, dan Landas Benua), konvensi
Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan konvensi Jenewa
tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang).
·
Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun
1961) tentang hubungan diplomatik, konvensi Jenewa (tahun 1949)
tentang Perlindungan Korban Perang.
Berdasarkan
Fungsinya
·
Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum,
adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau
kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan
(bersifat multilateral).
·
Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus,
adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya
mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja
(perjanjian bilateral).
Contoh
:
Perjanjian
Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang
timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu
Indonesia dan RRC.
Perjanjian
internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional
positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian
internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban
antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan
perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa
alasan, diantaranya sebagai berikut :
1.
Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab
perjanjian internasional diadakan secara tertulis.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Seperti
yang dijelaskan pada seri sebelumnya bahwa setiap orang/badan hukum
bebas melakukan perjanjian dengan siapapun tentang hal apapun (asas
kebebasan berkontrak) dan perjanjian yang dibuat tersebut akan
mengikat mereka yang membuatnya (asas kepastian hukum). Walaupun
demikian, sebebas apapun mereka membuat perjanjian tentunya ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat
tersebut sah di mata hukum.
Adapun
syarat-syarat tersebut seperti yang diatur dalam KUHPerdata
Pasal 1320, adalah:
- Ada kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya;
- (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
- Mengenai suatu hal tertentu
- (4) Suatu sebab yang halal/legal.
Kedua
syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif
dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan (dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui
pengadilan). Sedangkan kedua syarat terakhir disebut dengan syarat
objektif dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi
hukum (batal dengan sendirinya).
Kesepakatan.
Kesepakatan merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik
temu dari dua kepentingan yang berlawanan. Proses ini umumnya
diawali dengan pemberitahuan tentang maksud oleh satu pihak kepada
pihak yang lainnya (intent), kemudian pihak lainnya akan
membalas dengan mengajukan penawaran (offer). Apabila
penawaran tersebut disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran
tersebut akan menerimanya (acceptance). Proses kesepakatan ini
harus dilakukan secara bebas tanpa adanya kekhilafan atau paksaan,
ataupun penipuan (Lihat KUHPerdata
Pasal 1321). Apabila sebaliknya terjadi
dimana suatu kesepakatan diberikan secara tidak bebas maka
kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya menjadi
dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).
Kecakapan.
Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang
(KUHPerdata Pasal 1329) beranggapan
bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian kecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap
(general legal presumption) . Mengenai ketidakcakapan
ini KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan
bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah “orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah
dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu“. Selanjutnya sesuai KUHPerdata
Pasal 330, yang dimaksudkan dengan orang yang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan
tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini maka apabila
seorang yang belum berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah
dewasa, begitu juga apabila ia bercerai pada usia belum genap 21
tahun maka ia tetap dinyatakan telah dewasa. Sedangkan yang masuk
dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam pengampuan
sesuai KUHPerdata Pasal 433 adalah
setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena
keborosannya. Mengenai ketidakcakapan perempuan yang telah kawin
dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal
108 yang berbunyi ” Sang istri,
sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda
terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan,
memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa
bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah
memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian
tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa
pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami”
dan Pasal 110 yang
berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan
suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan
harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan
pekerjaan bebas”. Akan tetapi berdasar Surat
Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua pasal
tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang
telah kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap
dalam membuat Perjanjian.
Suatu
hal tertentu. Yang dimaksud dengan suatu
hal tertentu di sini adalah merupakan objek dari suatu
perjanjian atau yang disebut juga dengan prestasi.
Menurut KUHPerdata Pasal 1332,
hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek
perjanjian. SelanjutnyaKUHPerdata Pasal
1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai objek berupa suatu barang yang
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut
tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan
atau dihitung. Selain itu, terkait dengan barang yang menjadi objek
perjanjian ini, KUHPerdata Pasal
1334 menyatakan bahwa barang yang baru
ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu
Perjanjian. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk
metepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan
suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan
persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang
menjadi objek perjanjian itu.
Sebab
yang halal. Penjabaran mengenai sebab
yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata
Pasal 1337 yang menyatakan bahwa suatu
sebab adalah tidak halal, jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum.
Saat
Lahirnya Perjanjian
Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan
subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan
negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu
sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan
terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak
sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi
yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan
tidak melakukan suatu perbuatan.
**
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu pokok persoalan tertentu.
4.
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua
syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama
(kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu
hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak
tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu
persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut
kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan,
walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir
pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban
yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat
dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian
mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi
tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca
surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,
karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak
dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik
lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan,
berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam
pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu
peijanjian jual beli.
Perjanjian
harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan
perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah
perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata
sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan.
Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal
dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian
dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kata sepakat.
Syarat
pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu
perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk
membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun
tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya
saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek
hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau
wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata
sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam
praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan
kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban
mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak
menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasarkan
kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya
mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga
mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk
perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa
dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang
menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang
harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga
perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa
dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat
terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang
yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan
untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti
mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya
palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian
yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata
lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan,
yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak
lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun
isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat
sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib
kesusilaan yang berbeda-beda.
**Secara
mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1.
Perjanjian Konsensuil adalah
perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah
cukup untuk timbulnya perjanjian.
2.
Perjanjian Riil adalah
perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok
perjanjian telah diserahkan.
3.
Perjanjian Formil adalah
perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau
disertai formalitas tertentu.
Pembatalan
dan Pelaksanaan suatu Perjanjian
Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat
perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh
salah satu pihak biasanya terjadi karena:
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjianPelaksanaan perjanjian
- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
- Terkait resolusi atau perintah pengadilan
- Terlibat hukum
- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjianPelaksanaan perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Sumber :
Wikipedia.com,macam-macam-perjanjian-internasional.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/hukum-perjanjian

Tidak ada komentar:
Posting Komentar